Negeri Ads

Sabtu, 15 Agustus 2009

Menangislah!


Jalaludin Rumi, seorang sufi besar, dilahirkan di Balkh - sekarang Afganistan - pada 604 H/1207 M. Ayahnya, Baha' Walad, adalah seorang dai terkenal, ahli fiqih , juga seorang sufi. Dalam usia 24 tahun, Jalaludin Rumi sudah menggantikan ayahnya, menjadi guru ilmu ketuhanan (teologi). Saat itu Rumi sudah menguasai ilmu-ilmu esoterik-sufisme.
Tiga belas tahun kemudian, setelah penobatan Rumi menjadi guru sufi muncul seorang tokoh. Namanya Syams al-Din dari Tabriz (642 H/1244M). Ia datang ke Konya. Penampilannya aneh. Ternyata lelaki itu sangat memikat Rumi. Syams al-Din berhasil mengeksteriorisasikan maqam kontemplatif-spiritual Rumi ke dalam bentuk syair dan tari.
Ketika Rumi sudah terlanjur kasmaran terhadap Syams al-Din, tiba-tiba kemudian lelaki yang terlanjur mengubah jalan sufi Rumi itu menghilang. Kabarnya ia dibunuh oleh seorang pengagumnya yang 'cemburu'. Sejak itu Rumi semakin 'terbius' oleh pengaruh lelaki aneh Syams al-Din. Rupanya, pengaruh lelaki asal Tabriz itu menjadikan Rumi meninggalkan salah satu dunianya sebagai seorang dai. Ia pindah ke dunia lain, menjadi penyair, sufi besar dan penulis sajak mistis berpuluh-puluh ribu kuplet.
Karya utamanya Diwan-i Syams-i Tabrizi, memuat lebih dari 40.000 syair. Matsnawi yang memuat sekitar 25.000 syair. Jalaludin Rumi juga mengajarkan kaifiat kontemplatif dengan bersajak sambil menari. Pusinya bangkit oleh nafiri sang gendang, bunyi palu pandai besi, bahkan gemerincing air. Maka Rumi pun sering pergi ke alam, menikmati gerak dan musik alam bersama murid-muridnya.
Di antara murid-muridnya ada yang Nasrani dan Yahudi. Ada yang menarik dalam kumpulan catatan percakapan Rumi Fihi ma fihi, dikisahkan, bagaimana murid-murid Rumi menangis tersedak-sedak - tak terkecuali yang Nasrani maupun Yahudi - perasaannya larut terbawa oleh kata-kata Rumi. Mereka seolah dipertemukan oleh pertautan cinta bertemu kekasihnya, yakni Sang Khalik. Dan, ketika tanda-tanda pertautan itu mewujud - dalam puisi Rumi- maka mereka menyungkur dan menangis.
Ada kisah lain yang menarik menjelang perang Tabuk, perang menghadapi tentara Romawi pada musim panas. Tentara Romawi begitu kuat, seluruh sahabat Rasulullah diharapkan ikut. Tetapi karena jaraknya jauh setiap sahabat harus punya tunggangan sendiri, jalan kaki tak mungkin. Di antara sahabat ada yang miskin tidak karena punya tunggangan, menangis. Maka rombongan yang dipimpin Abdullah Al Muzani ini terpaksa kembali. Sebab, Rasulullah menyatakan tak berhasil membantu memberi mereka tunggangan. Mereka menangis, menyesal, lantaran tak bisa ikut perang dan segera bertemu Tuhan dalam kesyahidan.
"Mereka kembali sedang mata mereka melelehkan air mata karena kesedihan, karena mereka tidak memperoleh apa yang mereka nafkahkan" (QS: 9:92).

Tangis para murid Jalaludin Rumi dan tangis rombongan Abdullah Al Muzani tentu beda, meski serupa. Tapi keduanya jelas bukan sembarang tangis. Para murid Rumi menyungkur dan menangis karena merasa memperoleh nikmat, bertemu Sang Kekasih. Tangis pasukan Abullah Al Muzani adalah tangis kesedihan, menyesal karena merasa kehilangan kesempatan untuk secepatnya bertemu Sang Kekasih.
Menangis, sesungguhnya adalah fitrah. Ia merupakan aktivitas pertama kali yang bisa dilakukan seorang manusia ketika dilahirkan. Kita tidak pernah bisa menjelaskan maknanya. Apakah perpindahan dari dunia rahim ke alam raya menyebabkan kesediahan atau kenikmatan, kebahagiaan atau kesengsaraan, sehingga menangis. Kita mungkin sudah melupakan peristiwa bersejarah yang maha penting. Pun pula kita tidak ingat lagi berapa kali menangis sejak kecil.
Menangis adalah ungkapan. Bisa merupakan ekspresi kesedihan, bisa pula sebaliknya. Menangis adalah naluri, fitrah manusia yang sekaligus nikmat Tuhan. Menangis itu - katanya - sehat, maka menangislah sejadi-jadinya, supaya sehat.
Ada orang yang sangat sensitif, gampang sekali menangis. Menangis ketika harus berpisah dengan orang yang dicintai. Menangis ketika mendengar cerita atau mengalami peristiwa yang menyedihkan. Memangis tatkala melihat kesengsaraan dan penderitaan orang lain. Sebaliknya, ada orang yang sulit sekali menangis. Kalaupun harus bersedih, tak juga bisa menangis. Hatinya tidak sepeka golongan sebelumnya. Ada pula yang tidak bisa menangis karena hatinya memang bebal, keras membaja, walaupun ditimpa musibah sekalipun.
Ada bermacam-macam jenis tangisan. Ada tangis merindukan pertemuan dengan Al Khalik. Ini murip dengan tangis kekhusukan hati dalam berdzikir kepada Tuhan. Ia bermakna kontemplatif-spiritual. Tangisan yang lahir dari pikiran yang bersih dan hati yang bening. Ada pula tangis bahagia. Tangis jenis ini lahir di saat suasana bahagia yang diselimuti rasa haru, ketika berjumpa dengan orang-orang tercinta, berkumpul bersama keluarga dalam suasana hari raya, ketika mendapatkan nikmat besar, kemenangan dalam suatu perjuangan (baca: pertandingan), dan lain sebagainya.
Ada juga tangis ikut-ikutan - milik orang yang hanya bisa menangis ketika orang-orang di sekelilingnya menangis. Ada lagi tangisan cengeng. Ini lebih sarak makna bendawi, hedonis. Tangisan cengeng biasanya terjadi ketika seseorang kehilangan harta, kekuasaan, atau atribut-atribut bendawi yang dicintainya. Tangisan cengeng mirip dengan tangisan palsu. Seseorang mencucurkan air matanya supaya tampak sedih, haru atau bahkan bahagia. Tetapi dalam benaknya sebaliknya. Maka, air mata yang meleleh pun air mata kepalsuan, air mata buaya.
Pernahkah kita menangis? Menangislah! Dan, sebuah pertanyaan penting yang harus kita jawab jujur, termasuk jenis tangis yang mana? Tangisan rindu? sedih? bahagia? cengeng, palsu, atau apa? Tetapi yang penting, menangislah, karena menangis itu sehat dan bisa menjadi terapi untuk menghilangkan strer.. yooook menangis..(Jangkung Parikesit).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar